Kamis, 25 Juni 2015

SEJARAH DESA KATIKUWAI

Sejarah singkat Desa Katikuwai ini merupakan hasil kajian yang dilakukan oleh KOPPESDA, UNDP-SPARC dan lintas SKPD pada 17-18 april 2015 di kantor Desa Katikuwai.

Katikuwai merupakan sebuah desa di wilayah Kecamatan Matawai La Pau, Kabupaten Sumba Timur. Katikuwai merupakan nama yang terbentuk dari keberadaan empat sumber mata air besar yang berada di wilayah tersebut, diantaranya; La Tua, Wangga Meti, Lai Iring dan Kalimbu Wai. Katikuwai atau dalam bahasa Indonesia “kepala air/Hulu” dicitrakan sebagai wilayah sumber mata air yang dapat menghidupi penduduk hilir.

Wilayah Desa Katikuwai di huni oleh 1.511 jiwa, 774 orang laki-laki dan 737 orang perempuan, yang terdiri dari 306 kepala keluarga. Adapun secara administratif, desa katikuwai memiliki batas-batas wilayah; sebelah timur berbatasan dengan Desa Katikutana, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ramuk, sebelah utara berbatasan dengan Desa Wangga Meti, sebelah barat berbatasan dengan Desa Praimadita, Kecamatan Karera.

Jauh sebelum berbentuk desa, Katikuwai terbagi atas empat kampung besar yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala kampung. Empat kampung yang dimaksud adalah Pahambur Wai yang dipimpin oleh suku Tawiri, La Tua yang dipimpin oleh suku Nipa, La Nggoka yang dipimpin oleh suku Anakariung, dan La Buana yang dipimpin oleh suku Lenggit. Kepemimpinan empat Suku tersebut berlangsung hingga tahun 1964 (sebelum dan bahkan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI).

Tahun 1964 merupakan awal cikal bakal terbentuknya Desa Katikuwai, hal ini ditandai dengan dilantiknya Kepala Desa Katikuwai pertama bapak Kabubu Maramba dari Suku Lenggit dan wakilnya bapak Kambaru Kananga dari suku Anakariung. Dalam pemerintahannya, Kabubu Maramba dibantu oleh seorang juru tulis Katauhi Jawa Bara dari suku Tawiri dan empat orang pamong; Nuku Panda Awang, Malai Lunggi dari suku Anakariung, Harrang Dulla Amah dari suku Marongga dan Hau Ngunjunau dari suku Nippa.

Kepemimpinan Kabubu Maramba berlangsung sejak tahun 1964 hingga tahun 1970. Adapun prestasi terbesar yang ditorehkan oleh pemerintahan Kabubu Maramba adalah dapat menyatukan empat kampung besar (Pahambur Wai suku Tawiri, La Hua suku Nippa, La Nggoka suku Anakariung dan La Buanah suku Lenggit) ke dalam satu wadah yang bernama Desa Katikuwai.

Keberhasilan Kabubu Maramba menyatukan empat kampung besar menjadi satu desa, tidak terlepas dari peran penting kabinet kerjanya. Dalam pemerintahannya dapat dilihat bahwa empat suku besar yang berada di wilayah Katikuwai memiliki wakil dalam struktur pemerintahannya dan bekerjasama dengan baik hingga berakhirnya masa jabatan.

Pada tahun 1970-1972, Desa Katikuwai dipimpin oleh bapak Kepala Desa Tay Landu Jawa. Adapun pada periode ini kepala desa tidak lagi memiliki wakil namun hanya dibantu oleh seorang juru tulis Petrus Umbu Makambombu dan empat pamong Nuku Panda Awang, Malai Lunggi, Harrang Dulla Amah dan Hau Ngunjunau.

Pemerintahan Tay Landu Jawa hanya berlangsung selama dua tahun, karena menarik diri, kepemimpinannya dijabat oleh Bipa Lay dengan kabinet yang tetap dipertahankan sejak tahun 1972-1975.

Tahun 1976-1980, Bapak Kabubu Maramba kembali terpilih menjadi Kepala Desa Katikuwai, dengan panitra desa Petrus Umbu Makambombu. Pemerintahan Kabubu Maramba berjalan normal dan tidak ada perubahan mencolok yang ditorehkan.

Selanjutnya, pada tahun 1980-2002 Kepala Desa Katikuwai dipimpin oleh seseorang yang telah 10 tahun menjabat sebagai juru tulis desa, yakni Petrus Umbu Makambombu atau yang namanya biasa disingkat P.U. Makambombu. Sedangkan jabatan yang selama itu diemban, dipercayakannya kepada seorang sekretaris desa yang bernama Yakub Nuku Nggedi.

Dalam pemerintahannya P.U Makambombu menorehkan prestasi, diantaranya (1) tahun 1983 mengantarkan Desa Katikuwai sebagai juara 2 tingkat kabupaten dalam lomba desa, (2) melakukan pembukaan jalan desa sepanjang 7 KM, (3) pemusatan penduduk di pinggir jalan dengan menarik penduduk keluar dari kawasan, (4) mendirikan pasar desa, dan (5) mengembangkan tanaman produktif.

Masa pemerintahan P.U Makambombu selama 22 tahun dinilai oleh masyarakat Katikuwai sebagai awal kemajuan Desa Katikuwai. Anggapan tersebut bukan tanpa alasan, P.U Makambombu telah berhasil mengajak masyarakat untuk maju dan melihat jauh ke depan. Pembukaan jalan desa dan pasar desa merupakan salah satu cara untuk memperlancar aktivitas perekonomian desa yang selama itu terisolir. Selain itu, P.U Makambombu yang telah memiliki pengalaman cukup lama sebagai juru tulis desa, juga berhasil menyadarkan masyarakat untuk mengembangkan tanaman produktif yang saat ini telah menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat Desa Katikuwai.

Ada awal, akhir pun tiba. Pemerintahan P.U Makambombu yang berlangsung selama 22 tahun, digantikan oleh Kepala Desa Yohanes Djama Ratu Ngunju pada tahun 2002. Yohanes Djama Ratu Ngunju menjabat selama dua periode, yakni 2002-2008 dan 2008-2014. Dalam menjalankan pemerintahannya, Yohanes Djama Ratu Ngunju dibantu oleh sekretaris Marten Njuka Manang dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS). Prestasi yang ditorehkannya adalah berhasil mendirikan Kantor Desa Katikuwai yang digunakan hingga sekarang ini. Melalui pemilihan kepala desa yang dilakukan tahun 2014, bapak Absalom Ngguli Taramata terpilih menjadi Kepala Desa Katikuwai periode 2014-2020, dengan sekretaris desa Marten Njuka Manang dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Minggu, 21 Juni 2015

STPMD"APMD" Yogyakarta consern terhadap desa

Berbagai kebijakan yang dihasilkan pemerintah saat ini dirasakan sangat kurang menjangkau rakyat kecil yang berada di pedesaan. Pembangunan selalu dipusatkan ke kota-kota,.kemudian yang diharapkan akan membawa dampak bagi perkembangan pedesaan. Kenyataannya pembangunan tersebut semakin memperlebar jarak kesenjangan sosial, ekonomi, pendidikan antara masyarakat kota dan pedesaan. Situasi seperti itu semakin diperparah dengan semakin terserapnya berbagai sumber daya desa bagi perkembangan perkotaan. Kebijakan pemerintah yang bias kota ini, memaksa desa tumbuh dalam kondisi marjinal, terbelakang dan ketergantungan.

Drs. Sumarjono M.Si Ketua STPMD”APMD” Yogyakarta ; STPMD “APMD” Yogyakarta sebagai satu-satunya perguruan tinggi yang meletakkan desa sebagai sentral dan fokus kajiannya selama berpuluh-puluh tahun. Lalu bagaimana APMD sendiri memandang problematika desa dan sejauh mana kontribusinya untuk menelurkan ide serta gagasan-gagasan demi kemajuan desa sendiri. Berikut petikan wawancara dengan Sumarjono, Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta ketika ditemui reporter Teropong, Titus Umbu Jawa Ray dan Raysmon Bandong.

Sejak kapan APMD didirikan?

APMD didirikan pada tanggal 17 Nopember 1965. Awal didirikan dengan nama Akademi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD) kemudian sejak tahun 1989 di kembangkan dari Akademik menjadi Sekolah Tinggi berdasarkan SK dari dirjen DIKTI.

Bagaimana Kontribusi APMD terhadap Desa sendiri?

APMD selalu concern terhadap masalah pedesaan, sejak awal berdirinya, APMD bertekad menjadi pelopor pembangunan pedesaan.Hal itu yang membedakan kampus ini dengan sekolah tinggi sejenis., Sejak awal berdirinya APMD sudah berkomitmen terhadap desa, Sudah sejauh mana Kontribusi Apmd terhadap Desa selama ini?

APMD sebagai sebuah perguruan tinggi, concern dan konsistensinya terletak pada input salah satunya adalah kurikulum. Kurikulum yang kita buat diusahakan agar senantiasa mahasiswa yang belajar di APMD memiliki kompetensi terhadap kajian tentang pedesaan. Tetapi yang mesti diingat tentunya antara prodi di STPMD memiliki fokus dan kompetensi yang berbeda-beda. Saat ini yang lebih fokus terhadap kajian pedesaan program studi Diploma III, karena di sana lebih awal memang difokuskan terhadap desa. Di prodi D III lebih banyak mengkaji tentang pemerintahan desa, pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa. Sedangkan pada prodi sosiatri lebih relatif ke arah desa. Lain halnya dengan ilmu pemerintahan yang lebih fokus pada tata kelola pemerintahan lokal. Maka kurikulum, lebih diharapkan kajian tentang lokal, dan menitikberatkan hubungan propinsi, kabupaten, dan desa berbeda dengan perguruan tinggi lain lebih fokus ke ilmu politik dimana lebih ke kajian makro.

Tadi bapak berbicara mengenai Kontribusi APMD salah satunya terletak pada kurikulum, apakah hanya sebatas itu saja?? Berbicara mengenai Perguruan tinggi tugas utamanya berupa pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat maka kontribusi langsung terhadap masyarakat lebih khusus ke desa,pertama diharapkan outputnya,yaitu mahasiswa mampu concern dan konsisten terhadap masalah-masalah lokal dan pedesaan sesuai visi-misi perguruan tinggi.Kedua hasil penelitian dan pengabdian pasti akan banyak memberikan kontribusi terhadap pedesaan sesuai karakteristik program studi masing-masing. Sebagai alumni misalnya kita harapkan cepat tanggap terhadap masalah desa. Hal ini yang membedakan dengan perguruan tinggi lain dalam memandang desa. Kita melihat dari tata kelola pemerintahan dari sudut ilmu pemerintahan yang metode pembelajaran seperti desentralisasi, otonomi dan demokratisasi misalnya bagaimana menyiapkan wilayah pedesaan agar mampu menjalankan kebijakan pusat baik desentralisasi fiskal, desentralisasi perencanaan pembangunan dan devolusi seperti cara memilih kepala desa. Saya pikir APMD sekarang kajian-kajian seperti itu akan semakin memperkuat kapasitas Desa, sehingga dosen dan mahasiswa diarahkan menuju kearah sana sehingga memperkuat komitmen terhadap desa menjadi spirit untuk membentuk desa yang maju dan sejahtera masyarakatnya.

Sudah sejauh mana penelitian yang dilakukan civitas akademika APMD Dan apa karya yang sudah di hasilkan berkaitan dengan pembangunan desa?

Bentuk penelitian itu bisa diwujudkan melalui penelitian langsung kepada objek, baik masyarakat atau aktor pengelola lembaga desa, kedua melalui kajian literarur berupa output jurnal JISA, kebijakan STPMD”APMD”mengenai penelitian baik dosen atau mahasiswa, seluruh penelitian di simpan dan bisa di baca di perpustakaan.mengenai topik-topik penelitian yang jelas saya lupa tapi penelitian mahasiswa dan dosen selau diarahkan pada penelitian yang berhubungan dengan dinamika hubungan pemerintahan lokal, kabupaten kota, provinsi dan pedesaan.

APMD sudah sejak lama konsisten terhadap desa, apakah sejak berdirinya sampai sekarang, APMD sudah memiliki desa binaan?

Sejak tahun1984 saya sebagai dosen berada di sini, APMD itu memiliki desa binaan di Kabupaten Kulonprogo Kecamatan Temon, kemudian di Jawa Tengah, Kabupaten Magelang tepatnya di Kecamatan Blabak, Mungkit. Sekarang istilahnya menjadi mitra kerja, sekarang baru saja MOU(Memorandum Of Understanding) di Bantul yaitu desa Gilangharjo, tapi khusus untuk desa gilangharjo tidak hanya sebagai mitra kerja tapi di kembangkan sebagai laboratorium lapangan, STPMD yang selama ini lebih mengarah ke village khusus untuk gilangharjo kita lebih masuk ke tata kelola pemerintahan desa. Kedua ikut mengembangkan desa wisata berbasis budaya. Ketiga mengembangkan aspek wilayah desa dari segi ekonomi agrobisnis dalam menciptakan ketahanan pangan termasuk dalam agroteknologi, mengolah sampah agar dapat lebih dimanfaatkan, serta mengolah hasil pertanian agar menjadi alternatif pangan. Serta ikut memanfaatkan sampah ternak menjadi alternatif bahan bakar seperti biogas. Mahasiswa kedepanya tidak hanya paham akan pemerintahan akan tetapi paham mengenai tata kelola pedesaan. Hal ini dapat di wujudkan kedepanya dengan mengundang sosok pemberdayaan desa, mengadakan kerja sama dengan dengan LPM (lembaga pemberdayaan masyarakat) UGM khusunya fakultas –fakultas di UGM yang berhubungan dengan pedesaan seperti fakultas pertanian, perikanan, teknik industri. Kalau pun hal tersebut tidak dapat dilaksanakan,masih ada alternatif lain yaitu dengan pemanfaatan multimedia, seperti pemutaran film mengenai desa yang ,merupakan bagian dari proses mendorong mahasiswa agar memiliki kemauan untuk terlibat dalam kegiatan mengenai desa. Kita sendiri menyadari kenyatan mahasiswa APMD kalau kuliah sendiri belum tentu dapat menerima semua materi ada yang ngelamun, tidur dan lain-lain sehingga ruang-ruang seperti pemutaran film ini menjadi alternatif materi.

Tadi bapak katakan ada beberapa desa yang dijadikan mitra kerja, seperti yang di jawa tengah, apakah selama ini masih terus berjalan dan bentuk kerja samanya seperti apa?

Tidak, sekarang kerjasama dengan desa-desa yang dijadikan mitra kerja sudah tidak berjalan. Jadi waktu itu kita menempatkan mahasiswa untuk mengadakan penelitian terutama untuk membuat profil desa, karena waktu itu berhubung kurikulumnya mahasiswa D3 ada KKL (kuliah kerja lapangan) beberapa hari kita tempatkan di desa, kebetulan saat itu jumlah mahasswanya cukup banyak, jadi diadakan semacam sensus dengan cara setiap warga dikunjungi untuk di data tentang sosial, ekonomi, identifikasi masalah, inventarisasi masalah pembangunan yang ada di desa itu. Sehingga hasil penelitian itu bisa dijadikan sebuah buku, dan di desa itu memiliki monografi desa lengkap dengan profilnya, dan pemerintah desa dan masyarakat memiliki identifikasi-indentifikasi potensi maupun masalah yang dihadapi.

Selain sebagai ajang KKN, sudah sejauh mana bentuk kontribusi desa tersebut terhadap mahasiswa?

Di harapkan memang desa mitra kerja tersebut dapat dijadikan semacam studi lapangan bagi mahasiswa baik melaui PUSMADA, LMKOD, atau melaui praktikum di kurikulum, untuk saat ini yang kita kerjakan mendampingi penyususan renstra desa, selanjutnya dari renstra desa itu akan di hasilkan RKP (rencana kerja pembangunan) tahunan dalam jangka waktu 5 tahun. Diharapkan desa itu memiliki link- link dengan pihak luar dengan tidak hanya menggantungkan dana dari pemerintah.

Berdasarkan kenyataan yang berkembang, desa mitra kerja APMD, belum banyak di ketahui oleh mahasiswa sendiri. Bagaimana cara yang di lakukan oleh kampus sendiri dalam proses sosialisasi mengenai desa mitra kerja tersebut apalagi dalam menghadapi penerimaan mahasiswa baru?

Kalau saya hal tersebut dapat dilakukan oleh prodi dan dosen. Dosen melakukan penelitian terhadap masyarakat ke sana dengan melibatkan mahasiswa. Untuk menghadapi penerimaan mahasiswa baru diharapkan nantinya SIKAM (Sosialisasi Intern Kampus), akan diarahkan ke desa. Mahasiswa baru di bawa ke desa mitra kerja tersebut sehingga akan lebih mengenal desa.

APMD sebagai sekolah tinggi yang selau konsen terhadap desa, tentunya lebih mengetahui sebenarnya apa masalah yang dihadapi oleh desa?

Sejak di keluarkannya peraturan pemerintah mengenai desentralisasi dan demokratisasi, kenyataan masalah yang dihadapi oleh desa adalah mengenai data. Hampir semua desa-desa baik yang ada di DIY maupun di luar DIY mengalami masalah ini. kalau toh pun ada dari tahun ke tahun data itu di buat saat itu dan tidak pernah diperbaharui, dari hal tersebut maka akan berpengaruh pada kelemahan,merancang pembangunan di desa itu yang seharusnya berbasis pada masalah.kalau datanya saja tidak baik, maka data yang di hasilkan hanya berbasis pada keinginan. Sehingga menyebabkan rancangan yang dibuat bias pada fisik, selain itu kinerja pemerintahan desa masih konvensional lebih kepada pelayanan administratif, kemampuan merancang dan mengembangkan juga masih terbatas.

Melihat begitu banyak masalah yang di hadapi desa, Apa yang dilakukan APMD dalam menyingkapi masalah tersebut?

APMD membangun konsep pemberdayaan terhadap desa, kami juga berkomitmn melakukan penelitian dan pengabdian yang nantinya hasil penelitian itu di arahkan pada pemberdayaan masyarakat desa agar lebih mandiri. Kita juga mengadakan pelatihan-pelatihan pada kepala-kepala desa dalam merancang tata kelola pemerintahan desanya. Hal ini sangat membantu desa sendiri dalam mengatasi masalahnya agar tercipata pemerintahan lokal yang kuat dan berdaya saing.

Bagaimana menurut bapak, perkembangan minat mahasiswa terhadap desa?

Banyak mahasiswa yang kurang berminat lebih disebabkan Mahasiswa saat ini cenderung berpikir linear, bagaimana kuliah cepat dan cepat dapat kerja.selain itu juga banyak faktor yang memengaruhi diantaranya faktor eksternal adanya persaingan antar perguruan tinggi di daerah, regulasi penerimaan pegawai negeri, sedangkan faktor internal, yaitu mengenai tata kelola yang belum menarik, serta perguruan tinggi sendiri yang belum banyak dikenal.

Apa upaya APMD dalam menarik minat mahasiswa?

APMD selalu berusaha agar dapat menarik mahasiswa , diantaranya melalui promosi yang dilakukan oleh panitia penerimaan mahasiswa baru, akan tetapi masih belum maksimal karena terkendala masalah finanasial, yang kedua promosi, dapat melalui para alumni ataupun mahasiswa aktif sendiri diharapkan dapat menarik minat mahasiswa agar mendaftar di APMD, Kita juga berupaya mengadakan pelatihan-pelatihan pada pemerintah daerah yang diharapkan ke depan akan semakin membuka jaringan dan pengenalan APMD., Seperti apa arah dan tujuan APMD ke depan?

APMD sebagai sekolah tinggi yang berkomitmen terhadap Desa, Arah dan tujuan ke depannya akan mengembangkan Sistem Nasional Pendidikan sesuai PP No 15 tahun 2005.

Titus Umbu Jawa Ray dan Raysmon Bandong aktivitas pers mahasiswa Teropong

Keluarga Sumba “STPMD” Yogyakarta

Keluarga Sumba STPMD Yogyakarta merupakan komunitas mahasiswa Sumba yang kuliah di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) Yogyakarta. Keluarga Sumba STPMD Yogyakarta terbentuk pada tanggal 7 Oktober 2011. Anggota awal sebanyak 46 orang. Komunitas ini terbentuk dari kesadaran bersama (Mahasiswa Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya) bahwa “Kami berasal dari etnis yang sama, yakni Etnis Sumba”.

Tujuan dibentuknya komunitas ini : pertama, untuk mempersatukan mahasiswa asal Sumba yang kuliah di STPMD Yogyakarta. Kedua, membangkitkan saling kepedulian diantara anggota Keluarga Sumba. Ketiga, mendiskusikan setiap dinamika yang ada dan terjadi di Sumba. Dan keempat, sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan melalui diskusi terkait materi perkuliahan.

Sebagai komunitas yang berbasis etnisitas, Keluarga Sumba STPMD Yogyakarta memiliki asas kekeluargaan. Artinya komunitas ini berdiri diatas pondasi kekeluargaan. Dengan demikian, Keluarga Sumba STPMD Yogyakarta tidak memiliki struktur organisasi dan kepengurusan yang hirarkis, melainkan hanya bersifat koordinatif. Dalam hal ini, menunjuk tiga koordinator yang bertugas menginformasikan setiap jadwal pertemuan. Pertemuan rutin diselenggarakan per dua minggu, sedangkan agenda lainnya disesuaikan dengan situasi dan moment yang terjadi.

Kegitan-kegiatan yang telah diselenggarakan Keluarga Sumba STPMD Yogyakarta, diantaranya; melakukan acara Malam Keakraban Bersama (MAKRAB). Makrab dilaksanakan pada tanggal 19-20 November 2011, bertempat di Pantai Depok Yogyakarta. Dan terakhir menyelenggarakan acara tahun baru bersama pada tanggal 6 januari 2012, bertempat di lingkungan kampus STPMD Yogyakarta.

Demikian informasi singkat mengenai keberadaan dan aktivitas mahasiswa Sumba di STPMD Yogyakarta. Semoga menjadi inspirasi kerjasama yang baik antara masyarakat di Sumba. Komunitas ini juga terbuka bagi mahasiswa Sumba dari kampus lain yang ingin bergabung. Salam Persaudaraan. (Titus-pen)

Meneropong moralitas dengan Relativisme kultural

Kaum relativisme kultural berpandangan bahwa apa yang benar dan salah, baik dan jahat, tergantung seluruhnya pada masyarakat tempat anda hidup (Jenny Teichman, 1998;10).

Masyarakat yang heterogengen seperti indonesia memiliki potensi kuat untuk mendukung gagasan diatas, pasalnya kaum relativisme kultural beranggapan bahwa masyarakat yang berbeda-beda mempunyai batasan perilaku yang berbeda dan menyimpulkan bahwa moralitas ada pada dirinya.

Apa yang baik menurut hukum (bukan Undang-Undang) masyarakat di Sumatra Barat belum tentu sama seperti di Papua atau di daerah lainnnya. Hukum tidaklah identik dengan undang-undang, namun undang-undang pastilah hukum. Karena itu hukum yang benar adalah hukum yang lahir dari masyarakat itu sendiri dan diakui bersama oleh masyarakat sekitar bahwa hukum yang ada dalam lingkungan mereka merupakan pengatur moral masyarakat dalam komunitasnya.

Relativisme kultural tidak menghendaki adanya prinsip menghakimi komunitas lain. Dikatakan bahwa tidak ada kebenaran atau kesalahan diatas atau melampaui norma-norma sosial dan tak ada jalan untuk membandingkan atau mengelompokkan norma-norma sosial yang berbeda secara objektif (sekalipun semuanya mengandung kebaikan).

Dalam pandangan relativisme kultural tak ada alasan untuk mengatakan komunitas lain tak bermoral dengan menggunakan tata tertib komunitasnya sendiri, hal ini tak lain adalah imperialisme kultural. Paling baik menurut kaum relativisme kultural adalah tidak menghakimi siapapun karena ukuran moralitas yang kita gunakan bahkan belum tentu satu pandang dengan orang lain yang satu daerah dengan kita, jika orang itu beda komunitas.

Fakta adanya perbedaan kultural di indonesia tak terelakkan lagi, berbagai kajian antropologis telah banyak dihasilkan yang menggambarkan begitu ragamnya budaya indonesia. Namun jika kita menganut relativisme kultural, apakah masalah sosial di indonesia bisa terselesaikan?. Jawabannya belum tentu (relatif).

Di indonesia memang kita harus akui adanya perbedaan kultur dalam masyarakat, namun dalam perbedaan itu, ada juga nilai-nilai yang dianggap sebagai aturan yang patut ditaati bersama. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai produk undang-undang yang mengatur tentang masyarakat dan itu diakui bersama seluruh masyarakat indonesia (dari sabang sampai merauke).

Aturan universal dalam negara ini menunjukkan bahwa relativisme di indonesia tidak dianut sepenuhnya. Namun dalam hal lain banyak praktik relativisme kita temukan dalam berbagai kasus. Contoh ; di Papua berlakunya hukum adat dan di Aceh yang menggunakan hukum syariah. Ini sedikit contoh yang menggambarkan relativisme kultural di indonesia.

Kasus lain, misalnya undang-undang pornografi mengundang kontroversi dalam masyarakat karena menggunakan perspektif komunitasnya. Masyarakat Aceh tentunya setuju dengan undang-undang ini karena secara religius dan kehidupan sosialnya berbeda dengan masyarakat Papua yang masyarakatnya masih menghargai pakaian tradisional (koteka). Selain itu, perbedaan perspektif atas pornografi-porno aksi merupakan gambaran nyata dari heterogennya budaya masyarakat indonesia.

Dari pemikiran relativisme kultural ini dapat kita katakan bahwa tidak ada penilaian objektif yang diakui dalam paham ini. Menurut asiomanya, memberikan penilaian objektif tidaklah mungkin karena orang yang menilai pasti beranggapan objektif, tapi bagaimana dengan orang lain?. Intinya, relativisme kultural tidak ingin mengambil reziko atas urusan moralitas, sehingga segala konsekuensi yang bakal timbul selalu dihindarinya.

Setelah membaca sedikit pemaparan diatas, mana yang cocok untuk di implementasikan indonesia, relativisme kultural atau pluralisme?. Menurutku “RELATIF”.

Gerakan Mahasiswa Mengubah Dunia

Sejarah perubahan di dunia ini tak lepas dari peran mahasiswa. Mahasiswa adalah ibarat sang penolong bagi mereka yang menginginkan perubahan dan sebaliknya petaka bagi mereka yang berkuasa. Sejarah dunia mencatat bahwa setiap perubahan dalam negara adalah bentuk dari pemikiran kritis para mahasiswa. Sepertinya, sejarah terlanjur mempercayakan kepada pemuda (mahasiswa) untuk membuat perubahan.

Sejarah mencatat pergerarakan mahasiswa dalam perubahan yang terjadi di negara-negara dunia, antara lain,

Gerakan Mahasiswa di Eropa. Seperti ; Hungaria, Revolusi menuntut kemerdekaan, kebebasan dan pengusiran Uni Soviet, dimotori oleh Dewan mahasiswa Revolusioner. Demonstrasi besar ini berakhir dengan pembantaian massal yang dilakukan Tentara Merah. Perjuangan mahasiswa Yunani – berhadapan dengan rezim papandreou menuntut kebebasan, demokrasi, keadilan sosial dan HAM. Rangkaian aksi mengakibatkan bayak korban tewas di kalangan mahasiswa. Perjuangan mahasiswa Perancis – memelopori pemogokan umum menyeluruh selama dua bulan pada Mei - Juli 1968. Aksi ini memicu “Krisis Mei” yang tercatat dalam sejarah sebagai krisis paling hebat di Prancis sepanjang abad 20.

Gerakan Mahasiswa di Amerika Latin. Bolivia mendapat sorotan dunia ketika Che Guevara - Tokoh muda revolusioner yang sukses bersama Castro menumpas diktator Batista - tewas di sebuah pegunungan Bolivia. Tahun 1928, mahasiwa Bolivia mengusung dua tuntutan yaitu otonomi kampus dan partisipasi mahasiswa dalam pemerintahan kampus.

Gerakan Mahasiswa di Afrika. Revolusi Aljazair meletus 1 November 1954 menuntut kemerdekaan dari penjajahan Perancis. Perlawanan masyarakat aljazair tak lain adalah unsur-unsur mobilisasi aktivis mahasiswa.

Gerakan Mahasiswa di Asia. Indonesia Krisis moneter di pertengahan tahun 1997 menghancurkan legitimasi kekuasaan rezim Soeharto yang diklaim sebagai pemimpin otoriter dan korup. Tuntutan mahasiswa untuk melakukan reformasi total mengerucut pada tuntutan untuk mengganti Presiden Soeharto. Gerakan mahasiswa mengalami eskalasi setelah terjadi penembakan yang mengakibatkan tewasnya 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti yang berdemonstrasi. Puncak aksi mahasiswa terjadi pada bulan Mei 1998 dengan menduduki Gedung Parlemen selama 5 hari dan berakhir dengan turunnya Soeharto dari jabatan presiden setelah berkuasa selama 32 tahun.

Benang Merah Perlawanan Gerakan Mahasiswa lahir dari kondisi dan realitas yang dihadapi. Bila melihat berbagai pengorbanan bahkan nyawa dipertruhkan demi sebuah perubahan, maka sangatlah penting untuk menanamkan jiwa pemberontak untuk menentang ketidakadilan. Orang yang tertindas harus dibebaskan dan itu dipelopori oleh kaum intelektual mahasiswa.

Segala bentuk perlawanan mahasiswa yang tertera dalam tulisan ini hanya segelintir peristiwa yang terjadi diberbagai negara didunia termasuk indonesia. Karena itu saya tidak berani mengatakan ini telah mewakili semuanya, alangkah baiknya anda mencari referensi yang lebih akurat untuk mempelajari perubahan dibelahan dunia ini. Salam bagimu kaum intelektual.

Mahasiswa, agent of change?

Peristiwa selalu menghadirkan coretan emas, coretan emas itu adalah sejarah. Gerakan mahasiswa dalam melakukan perubahan tak terelakkan lagi, dari setiap peristiwa politik pasti melibatkan mahasiswa. Tak salah jika mahasiswa menyandang gelar agent of change (agen perubahan) atau “kaum intelektual”. Peristiwa besar di indonesia yang berhasil dicatat sejarah adalah reformasi 1998 yang berhasil menumbangkan pemerintahan otoriter Soeharto.

Lebih besar dari pada itu, sejarah tak dapat berbohong untuk menyatakan begitu urgennya peran mahasiswa dalam melakukan perubahan selama ini. Sejarah perjuangan bangsa indonesia tak lepas dari peran kaum intelektual, sebut saja Soekarno, M.Hatta, Syahrir, M. Natsir dan lainnya. Mereka adalah representasi dari masyarakat akademik yang keluar sebagai tokoh perjuangan. Founding father kita mendapatkan gagasan dan ide brilian ketika mereka berdialektika didunia kampus. Karena merasa begitu pentingnya posisi mahasiswa itulah sehingga Soekarno bertekad untuk membangun karakter bangsa dengan “pondation of education”. Inilah sesungguhnya mahasiswa ideal menurut founding father kita. Mahasiswa adalah pondasi yang kuat untuk menopang bangsa ini. Sesungguhnya mahasiswa hadir sebagai anti kemapanan atau kritisisme, bangsa ini membutuhkan konstribusi nyata dari para intelek yang terpanggil jiwanya untuk menopang bangsa ini. Mahasiswa tidak saja sebagai “anjing penggonggong”, melainkan juga sebagai aktor yang mampu mengemudi bangsa ini. Mahasiswalah yang mempunyai peran penting untuk masa depan bangsa kita.

Namun, perubahan sosial yang begitu tajam telah menguburkan mahasiswa dalam kabut gelapnya. Sejak peristiwa besar yang terjadi pada tahun 1998, pergerakan mahasiswa nyaris tak terlihat. Idealisme mahasiswa telah terkuras oleh zaman yang berubah. Pada tahun 1998 hampir semua mahasiswa dipenjuru tanah air berjuang untuk melakukan reformasi.

Ketika misi reformasi berhasil di realisasikan dan demokrasi sebagai jawaban kongkritnya, maka bersama itu pula pergerakan mahasiswa mulai hilang dan tertelan oleh demokrasi itu sendiri. Tak ada lagi perjuangan idiologis yang terlihat, kecuali perjuangan untuk menyukseskan kepentingan golongan tertentu. Semangat keberamaan untuk melakukan perubahan secara bersama tak lagi nampak, semuanya bahkan tanpa puing-puingnya, remuk dan tak berbentuk lagi.

Terkurasnya peran mahasiswa

Indikator yang dapat memerkuat argumen terkikisnya peran mahasiswa dapat kita lihat dari respek masyarakat terhadap gerakan mahasiswa saat ini. Ruang, waktu dan kondisi telah menggeser peran mahasiswa. Setelah keberhasilan mahasiswa dalam membubuhkan catatan emas ketika merebut demokrasi, maka bersama itu pula peran mahasiswa tak lagi sepenting dulu.

Mahasiswa dapat kita ibaratkan seorang advokasi, seorang advokad melakukan pembelaan terhadap kliennya, dan ketika masalah kliennya terselesaikan maka ia akan pergi dan mencari pekerjaan lain. Hal yang sama terdapat pada mahasiswa, mahasiswa adalah para advokad yang membela masyarakat tertindas oleh kekuasaan, namun ketika kekuasaan itu berhasil diruntuhkan maka mahasiswapun beralih pekerjaan (back to campus).

Hal ini terjadi karena dalam sistem demokrasi memberikan hak yang seluas-luasnya pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan perubahan, setiap tindak ketidakadilan yang mereka alami dapat melakukan pembelaan sendiri. Dari sinilah peran mahasiswa tak lagi “dibutuhkan” masyarakat.

Karena peran mahasiswa tak lagi dianggap urgen, maka mahasiswapun beralih ketempat lain. Pekerjaan baru yang dilakukan mahasiswa tidak lagi melawan kekuasaan atau orang lain, melainkan mahasiswa harus berusaha melawan diri sendiri. Setelah musuh bersama itu dikalahkan dengan serangan kolektif mahasiswa, maka mahasiswa mendapat attact (serangan balik). Serangan itu adalah globalisasi, derasnya arus globalisasi membawa dampak yang sangat membahayakan aktivis mahasiswa.

Globalisasi memang membawa dampak yang positif, tetapi juga mengandung dampak negatif. Perkembangan teknologi dan informasi yang begitu mudah untuk diakses sangat membawa dampak positif bagi pergerakan mahasiswa, sebab dengan teknologi itulah para mahasiswa dengan mudah mendapatkan data-data yang akurat demi melakukan pergerakan. Namun terjadi distorsi ketika pada saat yang sama teknologi juga membawa dampak yang negatif.

Konsep modernisme yang dianggap dehumanis akan menjadi ancaman utama bagi gerakan mahasiswa. Hidup mewah yang ditawarkan modernisme yang dipelopori oleh semangat globalisasi akan menggiring mahasiswa untuk hidup individualis, hedonis dan konsumtif. Gaya hidup baru ini tentu saja jadi kabar buruk bagi pergerakan mahasiswa.

Ketika hedonisme masuk dan mulai merasuk dalam setiap pribadi mahasiswa, yang ada mahasiswa semakin apatis terahadap kepentingan negara dan masyarakatnya. Sehingga musuh bersama setiap gerakan mahasiswa yang mempunyai nilai kebaikan telah jelas, yaitu melawan diri pribadi untuk tidak terjebak oleh godaan globalisasi.

Globalisasi itu sangat banyak ragamnya, ia bisa hadir dalam bentuk apa saja, sebagai anak dari globalisasi adalah neo-liberalisme, paham baru ini menekankan pada persaingan ekonomi belaka. Sehingga peran negara sangat sempit untuk mengatur kehidupan bangsanya. Setiap individu akan dituntut terus bersaing di pasar, sehingga kekuasaan itu tak lagi dilirik karena takut ketinggal kereta.

Masyarakat miskin akan terus tertindas oleh yang kaya. Kekuasaan tak lagi terletak pada negara, melainkan pada pemilik modal yang menentukan arah bangsa. Demokrasi yang melibatkan masyarakat sebagai penyelenggara negara hanya retorika belaka, toh yang bermodal dan dekat dengan kekuasaan itulah yang memiliki akses terhadap sumber kekuasaan. Kondisi negri kita semakin memprihatinkan, sedangkan gerakan mahasiswa dalam keadaan kritis, eksistensinya semakin tergerus oleh gaya hidup manusia sekarang. Dengan demikian sudah saatnya gerakan mahasiswa melakukan tindak penyadaran dalam internal mahasiswa. Rekonstruksi gerakan mahasiswa harus segera dilakukan bila ingin tetap eksis.

Inilah kenyataan hidup kita sekarang kawan. Tangisilah diri kita, telanjangilah dan koreksilah setiap apa yang tersisip diselangkangan kita. Masihkah mahasiswa itu menjadi agent perubahan?. Pertanyaan ini bukan tanpa sebab kawan, taring mahasiswa tak lagi cukup tajam untuk menggigit, tulang-tulang kita telah keropos termakan rayap, dan tinggal “onani” yang tak pernah memuaskan libido. Reformasi belum berakhir kawan!

Modernitas Telephone genggam

Perkembangan teknologi yang signifikan tak terelakkan lagi, sebagai produk modernisme, teknologi telah menjadi simbolnya. Salah satunya dapat kita lihat dari perkembangan telephone genggam yang kian merambah hingga kelapisan bawah, telephone genggam tak mengenal kelas dan usia, ia telah menembus segala ambang batas kehidupan sosial masyarakat.

Khusunya di indonesia, perkembangan telephone genggam pesat sejak tahun 1996, hal ini dapat kita lihat dari tajamnya promosi akan telephone genggam yang terdapat di media massa, baik cetak maupun elektrononik. Dari hasil penelitian yang dilakukan Nuraini Juliastuti menunjukkan bahwa, pada tahun 1993 iklan telephone genggam masih sangat minim, koran Tempo memuat hanya satu iklan telephone genggam pada saat itu.

Namun di abad 21 ini iklan-iklan telephone genggam marak kita lihat diberbagai media massa, bahkan ditemui dalam berbagai peristiwa-peristiwa istimewa yang memobilisasi massa ; konser musik, pertandingan olahraga, kesenian, pentas budaya dan sebagainya. Ini menandakan bahwa telephone genggam tidak lagi sebagai barang yang hanya dimiliki oleh kelas menengah atas, melainkan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.

Pergeseran Makna & Fungsi

Awalnya alat komunikasi ini dihadirkan untuk memudahkan komunikasi antar individu, secara harafiah menjadi pusat komunikasi pribadi anda, (george merson). Namun dalam perkembangannya, revolusi teknologi informasi nirkabel ini jusrtu menciptakan pergeseran bentuk dan makna dari aktifitas komunikasi itu sendiri. Bahkan kehadiran telephone genggam tidak hanya melampaui pergeseran teknologis belaka, melainkan telah mempengaruhi kultur dan mental masyarakat indonesia.

Berbagai survei membuktikan bahwa, kehadiran telephone genggam sebagai “alat” telah berlalu, sekarang telephone genggam telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Seperti diketahui impect dari gaya hidup adalah handphoene tidak hanya sebagai connecting people, melainkan mengekspresikan karakter individu.

Makna dari aktivitas komunikasi telah berkembang luas. Berkomunikasi tidak saja menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan ( Martin Heidegger), melainkan juga menguntungkan. Dengan modal dan tenaga terbatas, didukung oleh revolusi teknologi, kita dapat melakukan komunikasi dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja dan untuk kepentingan apa saja. Ruang dan waktu telah menjadi lentur untuk ditembus, sekat-sekatnya yang dulu begitu kokoh telah hilang oleh teknologi.

Selain pergeseran makna diatas, pergeseran fungsi telephone genggam itu sendiri kian terbentang didalam keseharian kita. Hal ini dapat kita saksikan dalam berbagai merk telephone genggam yang menyediakan kelengkapan multimedia ; galeri foto, vidio, lagu, radio, dll. Kamera telephone genggam telah menghadirkan budaya narsisme pada masyarakat, ia seolah takut akan eksistensi tubuhnya sehingga selalu mengabadikan diri, bahkan tak jarang digunakan untuk foto “bugil”. Vidio telah digunakan untuk menampung berbagai vidio porno yang dapat merusak mental masyarakat. Terbukti dari dua kasus besar yang terjadi di indonesia belakangan ini ; kasus kedatangan Maria Ozawa sebagai pemeran film, disusul kasus yang diduga Aril – Luna Maya dan manusia-manusia lainnya.

Kaum muda merupakan sasaran empuk pasar telephone genggam, tak ayal dampak negatifnya pun tak terbendung. Hasil razia telephone genggam yang dilakukan guru dan kepolisian saat beredar vidio yang diduga aril-luna merupakan bukti nyata. Penemuan vidio porno dalam telephone genggam pelajar diberbagai sekolah merupaka bahaya laten, masifnya perkembangan teknologi ini telah menggiring pelajar dan kaum muda lainnya terjerembab dalam lembah yang menyesatkan. Seperti halnya kita terpacung oleh berbagai fasilitas yang diiming-imingkan oleh teknologi ini. Demam telephone genggam memang merupakan keberhasilan pasar dalam memainkan pikiran masyarakat, sehingga dalam alam bawah sadar kita, bahaya telepohone genggam menghantui diri kita sendiri.

Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa, semua impect baik posistif maupun negatif adalah keberhasilan modernisme mengkonstruksi gaya hidup masyarakat. Telephone genggam menjadi gaya hidup masyarakat karena konstruk modernisme yang mengidentikkan dengan industrialis-teknologis.

Sebagai himbauan penulis, semoga masyarakat sadar akan makna komunikasi dan fungsi dari telephone genggam itu sendiri. Salam post-modernisme!

Masa Depan Dan Tantangan Demokrasi indonesia

Negara indonesia adalah Negara yang dibentuk berdasarkan keberagaman. Dianrtaranya ; suku-suku bangsa, agama, aliran kepercayaan, terlebih lagi lokasi geografis yang sangat luas dan terpisah antara satu sama lain. Dari keberagaman inilah yang melahirkan pancasila yang dikenal dengan slogan “Bhinneka Tunggal Ika”. Juga tertuang dalam undang-undang dasar 1945. Inti pokok dari pancasila dan undang-undang dasar 1945 adalah mengakui keberagaman, yang berawal dari pengakuan mayoritas terhadap minoritas bahwa kita adalah satu bangsa yaitu bangsa indonesia.

Selain itu, indonesia dirumuskan berdasarkan asas kekeluargaan dan musyawarah. Yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, toleransi dan gotong royong. Bisa dikatakan bahwa sesuai dengan dasar konstitusi kita UUD 1945 adalah sosialis murni, yaitu yang menjunjung tinggi kebebasan individu dalam mengekspresikan diri. Baik dalam bidang agama, pengetahuan, dan kelangsungan hidup kaitannya dengan ekonomi.

Namun dengan berkembangnya zaman, konsep itu banyak dipertanyakan, baik itu relevansi pancasila dan bahkan undang-undang dasar yang telah diamandamen sebanyak tiga kali. Masih sanggupkah mempertahankan NKRI?

Masih banyaknya diskriminasi dalam masyarakat yang membuat jarak antara suku yang satu dan lainnya menjadi cerminan nyata untuk melihat masa depan demokrasi kita. Membangun tempat ibadahpun masih sangat sulit, bahkan banyak peraturan daerah yang bertentangan dengan konstitusi dasar (basic law).

Mendengar pertanyaan diatas tidak mengherankan lagi, sebab indonesia saat ini kurang memahami substansi dari pancasila itu sendiri. Dilain pihak amandemen yang dilakukan pada undang-undang dasar menandakan bahwa isi dari undang-undang tersebut tidak relevan, hal ini disebabkan karena konteks saat undang-undang itu lahir berbeda dengan keadaan saat ini. Dimana masyarakat tidak lagi terikat dalam keasatuan berdasarkan pancasiala dan UUD 1945, tetapi lebih kepada invidualis, egoistik, konsumtif dan hedonis.

Selain itu, indonesia menganut sistem demokrasi, yang merupakan pengamalan dari pancasila dan UUD 1945. Namun karena telah dikungkung oleh pemerintahan otoriter Soeharto selama 32 tahun, maka pondasi itupun tidak diterapkan. Setelah mengadakan reformasi yang ditandai degan jatuhnya pemerintahan Soeharto. Reformasi menghadirkan demokrasi yang dinikmati hingga saat ini. Kebebasan (seperti dalam pancasila dan uud 1945), itulah landasan konstitusinal dari demokrasi indonesia. Dalam perkembangananya sekurang libih sebelas tahun ini. Ternyata demokrasi banyak ditantang sebagai program modernisme yang tidak manusiawi (dehumanis). Bahkan dikatakan sebagai program Amerika dan Negara-negara barat yang disukseskan oleh Negara berkembang, tak terkucuali indonesia.

Baru sebelas tahun merasakan eoforia kebebasan, ternyata indonesia deihantaui berbagai persoalan internal yang diakibatkan pengaruh eksternal. Melihat kondisi ini, masih optimiskah kita akan indonesia yang lebih baik, serta bagaimana nasib demokrasi dimasa mendatang ?.

Sebelum menjawab pertanyaan diatas,. Maka terlebih dahulu perlu kita paparkan tantangan demokrasi indonesia kedepannya ;

Tantangan demokrasi indonesia Adapun tantangan yang menjungkal demokrasi terbagai dalam 5 indikator :

1. Berkembangnya kelompok radikal

Tak pernah terbayang oleh kita ketika terjadi aksi bom bunuh diri di legian bali. Apalagi aksi ini diatasnamakan jihad, dan menjadikan agama sebagai landasan kebenarannya. Sasaran dari terorisme ini adalah orang asing yang memiliki kepentingan di indonesia. bahkan disebut sebagai kaum mujahidin (dalam bahasa indonesianya “Pejuang - pejuang allah). Setelah itu, kita kembali dikejutkan dengan pengeboman yang terjadi J.W Marriot dan Rits calton. Lagi-lagi adalah milik asing yang diserang oleh aliran garis keras ini.

Kebanyakan negara-negara barat dan amerika termasuk indonesia, mengganggap bahwa para teroris adalah orang yang terpinggirkan secara ekonomi. Namun lebih dari pada itu, mereka sesungguhnya, bukan karena miskin, tetapi karena merasa geram dengan “penindasan” yang dilakukan negara maju terhadap negara berkembang.

Yang lebih mengkawatirkan lagi, berkembangnya kelompok-kelompok yang mengklaim demokrasi sebagai kemenangan kaum mayoritas. Karena dalam demokrasi adalah mengutamakan aspirasi masyarakat banyak. Maka dari itu menurut pandangan mereka, umat islam adalah yang terbanyak, maka dari itu harus diterapkan syariat islam dan mengubah negara indonesia menjadi negara islam. Inilah tantangan terberat demokrasi indonesia kedepannya.

2. Kepicikan kedaerahan

Setelah reformasi berlangsung, otonomi daerah menjadi salah satu program yang gencar dikampanyekan pemerintah. Tuntutan pemerintah daerahpun berdatangan. Dan karena asas demokrasi itulah, maka pemerintah daerah diberikan wewenang mengatur daerahnya sendiri, sesuai dengan undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan undang-undang nomor 32 tahun 2004.

Ancaman kepicikan daerah yang saya maksud dalam hal ini bukan aksi separatisme, meskipun itu sangat mungkin. Namun yang dimaksud dalam hal ini adalah pertama, isu putra-putri daerah dalam pelaksanaan pemerintahan. Sehingga peluang bagi warga pendatang sangat sempit dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Kedua, keegoisan daerah. Keegoisan yang dimaksud adalah berkaitan dengan sumber daya alam. Daerah yang merasa penyumbang terbesar bagi keuangan negara akan mengklaim bahwa daerah tersebut yang membiayai daerah lain. Hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial diantara daerah-daerah, jika daerah yang merasa memberi banyak meminta banyak pula.

Ketiga, peraturan daerah yang diskriminatif, seperti adanya peraturan daerah yang menerapkan syariat islam (seperti di Aceh) dan perda injili di Wamena. Ini sebagai pertanda awal hilangnya demokrasi di indonesia. Dengan adanya perda yang seperti ini akan memarjinalkan kaum minoritas. Sehingga demokrasi tidak dirasakan oleh mereka yang minoritas, karena dengan terpaksa harus menuruti peraturan daerah yang berlaku dimana mereka berada.

3. Ketidak Adilan

Ketidak adilan akan selalu menjadi faktor utama penghalang demokrasi. Mengapa demikian?. Karena ketidakadilan berkaitan dengan kemanusiaan. Ketidakadilan dapat kita lihat dari empat bidang ; ekonomi, politik, sosial dan hukum.

Pertama, Ketidakadilan dalam bidang ekonomi berkaitan erat dengan kesenjangan sosial. Kesenjangan yang begitu jauh akan menimbulkan pemberontakan dari masyarakat yang terpinggirkan, sehingga melahirkan kekacauan dalam masyarakat. Kedua, ketidak adilan dalam bidang politik, orang pandai belum tentu bisa menjadi seorang pemimpin, karena akses terhadap partai politik itu sangat sulit. Selain itu, lahirnya separatisme atau dalam lingkup kecil seperti pemekaran daerah karena dipengaruhi oleh para intelektual yang tidak mendapatkan posisi dalam pemerintahan pusat dimana ia berada.

Ketiga, dalam bidang sosial. Dalam bidang sosial ini kaitannya dengan diskriminasi suku, agama dan lainnya. Sehingga dalam masyarakat terjadi perpecahan antara suku, agama dan lainnya. Yang terakhir, keadilan dalam bidang hukum. Hal ini berkaitan dengan kesetaraan dalam bidang hukum. Kita lihat selama ini begitu banyaknnya fenomena yang mencedrai hukum kita. 4. Menurunnya kepercayaan publik terhadap intitusi-intitusi yang ada.

Dalam praktek demokrasi selama ini, meskipun masih relatif baru, ternyata menimbulkan minimnya kepercayaan publik terhadap institusi-institusi, baik pemerintahan ataupun partai politik. Seperti independensi pers, penegak hukum, partai politik, lembaga perwakilan, bahkan pemimpin.

5. Globalisasi.

Pemerintahan dalam negri tidak mungkin lepas dari pengaruh global. Dengan kebebasan mengakses media, mudah mengetahui permasalahan yang dialami negara lain, dan masalah di negara lain itupun turut mempengaruhi politik dalam negri. Seperti terjadi infasi israel terhadap palestina, amerika serikat terhadap afganistan. Semua kejadian yang terjadi dalam negara itu turut mempengaruhi kondisi dalam negri. Seperti tercetus ungkapan dalam sebuah debat disalah satu televisi. Kita adalah orang muslim dan kita berkewajiban membela teman seiman. Karena itu, kita bom juga umat kristiani yang ada di indonesia”. ungkapan ini tentu akan mempengaruhi kondisi dalam negri yang diakibatkan oleh pengaruh global.

Selain masalah tersebut diatas, keberhasilan negara lain dalam menolak demokrasi akan mempengaruhi sistem pemerintahan di dalam negri, seperti misalnya, Venusiela menolak demokrasi dan itu berhasil. Maka masyarakat indonesia akan terinspirasi oleh keberhasilan tersebut, sehingga menimbulkan pemberontakan dalam masyarakat

KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas, dapat dikatakan bahwa demokrasi indonesia menghadapi tembok keras yang siap menghantam kapan saja. Adanya tantangan terhadap demokrasi sangatlah kuat, seperti berkembangnya kaum radikal yang menginginkan demokrasi itu adalah kemenangan kaum mayoritas, sehingga harus menerapkan syariat islam dan yang memimpin harus beragama muslim. Selain hal itu, penolakan terhadap campur tangan asing sangat gencar dikampanyekan oleh penantang dunia barat dan amerika. Bahkan peraturan daerah dibuat untuk melindungi diri dari pengaruh global, yang didalamnya justru membatasi kebebasan warga sendiri. Ancaman disintegrasipun masih menjadi momok yang menakutkan, seperti aksi penembakan oleh kaum separatis di berbagai daerah.

Dengan permasalahan diatas, ditengarai adanya praktek politik elite kita yang kurang pro rakyat. Partai politik lebih mementingkan keberlangsungan partai politik dibanding keberlangsungan hidup warganya. Pelanggaran demi pelanggaran dilakukan oleh para pemimpin kita, sehingga melunturkan kepercayaan publik.

Lebih parahnya lagi, hukum yang merupakan pelarian terakhir bagi masyarakat ternyata tidak menegakkan aturan demi kebenaran. Sehingga keadilan tidak digapai, yang akhirnya belakulah hukum rimba. Sperti peperangan antara suku dan sebagainya. Akhirnya, masa depan demokrasi indonesia dikatakan lebih baik atau sebaliknya ; sangat ditentukan oleh berbagai tantangan diatas. Bila tantangan itu mampu kita atasi. Maka demokrasi indonesia akan lebih baik, bila tidak malapetakalah yang akan mengobrak-abrik NKRI.

A.AJAKAN/SARAN

Untuk Sobat-sobatku yang Ngerasa pro dengan demokrasi di negara indonesia, maka tantangamu adalah beberapa pengaruh diatras. Dan hanya itu yang bisa saya ungkapkan. Belum tentu benar, atau saja mungkin anda masih mempunyai lebih dari apa yang saya kemukakan. Maka itulah semua tantangan bagi kita.

Bagi kamu pendukung demokrasi. Perjuangkanlah demokrasi dengan semangat kebersamaan dan cinta kebebasan. Janganlah terbawa arus zaman, karena sekarang anak muda justru banyak yang memilih bersenang-senang meskipun dilingkungannya banyak persoalan yang memilukan. Sukseskan demokrasi meskipun dengan “Darahmu”. Salam.

DAFTAR PUSTAKA Sabirin, rahimi. 2005. jihad akbar didunia modern. Pantai barat ekspres.jakarta Mujani, saiful dan jajat burhanudin. 2005. benturan peradaban : sikap dan perilaku islamis indonesia terhadap amerika serikat. PPMI dan penerbit nalar.jakarta Harian jawa pos, 18 maret 2009 Harian kompas, 7 januari 2009

Tulisan ini banyak dirangkum dari hasil diskusi mingguan dengan awak LPM Teropong.

Perubahan peran dan locus politik lokal

Kita tentu mengingat seputar permasalahan yang muncul dalam masalah pilkada pada masa perwakilan (sesuai dengan UU no. 22 tahun 1999). Dimana para elite politik atau dewan perwakilan rakyat daerah berkonspirasi untuk memenangkan pemilihan kepala daerah. Konspirasi ini hadir dalam bentuk dukungan politik yang ditopang oleh politik uang. Dengan dalih mewakili rakyat, anggota DPRD melakukan lobby politik untuk memenangkan kandidat tertentu. Istilahnya siapa yang banyak uang dan sanggup membayar DPRD maka dialah sebagai pemenangnya. Apa yang terjadi diatas adalah gambaran yang terjadi sebagai konsekuensi logis dari undang-undang nomor 22 tahun 1999, dimana DPRD diberikan wewenang yang sangat kuat dalam hal pemilihan kepala daerah.

Namun dengan direvisinya undang-undang 22/1999 melalui undang-undang nomo 32 tahun 2004, kewenangan dewan perwakilan rakyat daerah telah dipangkas. Dari undang-undang nomor 32 2004 inilah yang menempatkan masyarakat sebagai kekuatan politik yang sangat strategis dalam membangun kekuasaan. Selain hal tersebut diatas, perhatian kandidat kepala daerah yang cenderung lebih kepada dewan perwakilan rakyat daerah, kian beralih kepada masyarakat sebagai aktor penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun peran dewan perwakilan rakyat daerah tetap menjadi kekuatan penting dalam pembuatan regulasi di daerah. Muhamad Asfar (2006) mengungkapkan bahwa sejak juni 2005 penyelenggaraan pemerintah dan politik ditingkat lokal mengalami pergeseran, bahkan perubahan yang sangat signifikan. Jika, sebelumnya kepala daerah dipilih melalui lembaga perwakilan di daerah atau dewan perwakilan rakyat daerah, kini sudah secara langsung masyarakat memilih kepala daerahnya melalui proses pimilihan langsung kepala daerah (pilkada).

Rakyat yang sebelumnya menjadi penonton, tiba-tiba berubah menjadi pelaku dan penentu. Anggota DPRD yang sebelumnya memiliki kewenangan besar dalam penentuan pemilihan kepada daerah, tiba-tiba hanya duduk manis menjadi penonton dipinggir lapangan. (Kacung Marijan;2006;1). Perubahan tersebut diatas menghadirkan cara baru dalam proses pemilihan kepala daerah. Perubahan itu terjadi ditingkatan elite dan rakyat sendiri sebagai tujuan dari terbentuknya pemerintahan. Perubahan ditingkat elite, khususnya di DPRD, ada kesan sebagian elite partai politik kurang bisa menyesuaikan diri dengan proses politik di daerah tersebut.

Persoalan mendasar terutama berkaitan dengan hilangnya kewenangan anggota DPRD dalam menentukan kepala daerah. Pengalaman di masa lalu menunjukkan, proses pemilihan kepala daerah selalu dibarengi dengan isu politik uang (money politics). Bila isu tersebut diatas benar adanya, maka akan terjadi peruhan locus politik uang dalam rangka penyelenggraan pemilihan kepala daerah. Proses politik terdahulu melibatkan anggota DPRD sebagai locus politik uang, karena disinyalir mereka sebagai pemilih dan penentu kepala daerah mendapat sogokan politik dari calon pemimpin daerah yang sedang berkompetisi.

Sedangkan dalam pemilihan langsung ini menghadirkan cara baru, dahulu yang locus politiknya berbasis ditingkatan elite, kini bergeser hingga pada masyarakat kecil sebagai pemilih dan penentu kepala daerah. Meskipun demikian, isu-isu money politics di tingkat elit ternyata tidak hilang dengan adanya pilkada langsung. Proses menjadi kepala daerah, terutama calon yang berasal dari luar partai, ternyata melibatkan putaran uang yang cukup banyak bahkan miliaran rupiah.

Adapun proses politik uang terjadi dihampir semua daerah yang melakukan pilkada. Para kandidat melakukan politik uang dan itu dilakukan hampir semua kandidat yang bersaing. Secara normative (sesuai dengan Undang-undang dan aturan Pilkada) sulit dibuktikan sebagai bentuk money politics, namun secara konseptual sebenarnya bisa di katagorikan sebagai money politics. Modus dari money politics ini macam-macam, mulai dari dalam bentuk sumbangan tidak mengikat seperti bantuan dalam bidang keagamaan, berupa ; sumbangan pada masjid, mushollah, pesantren. Dalam bidang sosial seperti ; pembangunan sekolah, bantuan bencana, kemiskinan, dan aksi solidaritas lainnya. Hingga pemberian secara terang-terangan untuk mencari dukungan seperti pembagian baju, sarung, pin, dan sebagian bergambar yang ada nama pasangan calon. Bahkan tidak jarang pembagian itu juga dalam bentuk uang tunai.

Terlepas dari segala kelemahannya, perubahan peran dan locus politik sangat menentukan terbentuknya sistem pemerintahan yang kompetitif dan selektif serta terkontrol langsung oleh masyarakat, pemimpin tidak lagi lahir dari konspirasi para elite tetapi dari rahim rakyat sendiri.

Otonomi daerah, milik rakyat atau elit lokal?

Dalam rangka melaksanakan pemerintahan yang efektif dan efisien, keberadaan pemerintahan lokal sangat dibutuhkan. Pemerintahan lokal sangat strategis untuk menyelenggarakan pemerintahan yang melayani hingga pada pelosok desa. Salah satunya, penyelenggaraan pemilihan langsung kepala daerah merupakan terobosasn baru untuk terbentuknya pemerintahan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyat didaerah, bukan lagi hasil dari konspirasi politik elite lokal atau bentuk kepentingan pemerintah pusat atas daerah.

Setelah reformasi mei 1998, posisi daerah sedikit banyak telah menghadirkan perubahan yang sangat berarti. Hal ini dapat kita lihat dari lahirnya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang salah satunya mengamanatkan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Dalam undang-undang ini menganut sistem perwakilan. Setalah dipraktekkan selama satu periode, kembali direvisi dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yang memberikan peluang masyarakat untuk memilih secara langsung bupati/walikota.

Dalam undang-undang ini menganut sistem pemilihan langsung. Namun lahirnya kedua regulasi diatas ternyata belum sanggup membawa daerah untuk mematangkan demokrasi ditingkat lokal. Bahkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004, yang menganut demokrasi langsug. DPRD dan partai politik tetap saja menjadi aktor utama dalam pemilihan bupati / walikota. Sebabnya, pemilihan kepala daerah memang dilakukan secara langsung, tetapi pasangan calon harus diusulkan partai politik atau koalisi dari berbagai partai di DPRD.

Artinya, dalih untuk mengembalikan kedaulatan ditangan rakyat, tetapi malah melahirkan kekuasaan elite-elite lokal. Akibatnya, dengan besarnya kekuasaan partai politik dalam pemilihan kepala daerah akan mengakibatkan tujuan otonomi daerah untuk rakyat bergeser menjadi kekuasaan para elite lokal. Maka dapat dikatakan bahwa kemengan seorang kandidat dalam pemilihan langsung kepala daerah, adalah kemengan partai pengusung dan koalisinya. Bukan lagi kemenangan masyarakat sebagai pemilih.

Iwan fals dalam lirik lagunya “memilih para juara”. Seorang juara lahir dari hasil kompetisi yang diberi nilai oleh para juri. Saya analogikan pemenang dalam pilkada layaknya seorang petinju yang juara karena mendapat nilai banyak dari para juri dan yang turut merayakannya adalah para penggemarnya. Dalam konteks pemilihan langsung kepala daerah, para juri adalah masyarakatnya, pemenang adalah kandidatnya yang terpilih, serta yang turut merasakan kegembiraan adalah partai pengusung dan koalisinya, lebih ironis lagi yang menikmati kekuasaan itu justru para elite lokal.

Karena itu, otonomi daerah dan desentralisasi harus di evaluasi kembali, sebagai rekomendasi penulis. (1) Masyarakat sebagai aktor utama dalam pemilihan kepala daerah harus benar-benar menjadi pilar yang memilih dengan kesadaran politik yang tinggi. (2) Partai politik memiliki fungsi sosialisasi politik, maka dari itu parati politik harus memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, tidak hanya muncul pada saat kampanye. (3) Pers memiliki fungsi edukasi, fungsi tersebut harus dilakukan agar memberikan pemahaman politik bagi masyarakat.

(4) LSM memiliki fungsi pemberdayaan, maka LSM harus memberdayakan masyarakat agar memiliki kesadaran politik. (5) Negara dalam hal ini pemerintah pusat harus memberikan peluang yang besar bagi elit lokal untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Karena itulah misi utama dari konsep otonomi daerah. Bila kelima aktor seperti dalam rekomendasi ini menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik, maka tidaklah mustahil pemilihan langsung kepala daerah akan benar-benar membawa dampak yang sangat berarti bagi masyarakat lokal.

Politik uang dalam pilkada

Kompas.com/Senin, 12 April 2010, memberitakan terkait politik uang, Setia Suprapto (40), dari Desa Sirnoboyo, Kecamatan Bonorowo, Kab. Kebumen-JATENG, mengaku diberi uang sebesar Rp 5.000 oleh tim pendukung salah satu pasangan calon. Selain uang, ia juga diberi "kartu pintar" yang memuat gambar pasangan calon tersebut dengan tujuan agar ia memilih pasangan calon yang dimuat dalam kartu tersebut.

Salah satu kasus diatas memberikan kita peringatan bahwa pilkada langsung secara demokrtis yang diharapkan menghasilkan pemimpin daerah yang berintegritas tinggi, bermoral dan berakhlak mulia. Tidak dapat terwujudkan, karena para kandidat saat bertarung saja sudah tidak menggunakan cara yang sportif. Kondisi ini akan memungkinkan terjadinya berbagai penyimpangan bupati terpilih nantinya, jika pengeluarannya saat kampanye sangat banyak. Maka ada kecenderungan untuk mengembalikan uang kampanye bahkan menjadi sumber keuangan partainya.

Dari kasus tersebut dapat kita analisis bahwa, politik uang tidak hanya dikatgorikan politik uang dalam bentuk tunai saja. Melainkan juga berupa instrumen lain, seperti “kartu pintar”. Ini menandakan bahwa modus politik uang bisa hadir dalam bentuk atau wujud apapun, bahkan mungkin sumbangan keagamaan, seperti karpet untuk Masjid dan sebagainya.

Bicara politik uang bukan lagi hal yang asing dipraktekkan di indonesia. Bahkan Safitri Endah Winarti menyebutnya “budaya politik uang”, (widyohari, 2006 ; 85). Namun, saya secara pribadi tidak setuju dengan penggunaan ungkapan “budaya politik uang”, karena menyebut Budaya berarti erat kaitannya dengan cipta, rasa dan karsa. Namun ini dalam konotasi yang negatif. Untuk kata budaya politik uang, saya lebih senang mengungkapkannya dengan istilah “politik uang yang membudaya”.

Potik uang yang telah membudaya di indonesia, mengindikasikan pilkada langsung yang diharapkan mematangkan demokrasi lokal, ternyata tidak terealisasi dengan baik sesuai dengan konsep pilkada itu sendiri. Kegagalan demokrasi lokal ini tidak lain karena disebabkan, pertama, dorongan ekonomis ; masyarakat indonesia yang mayoritas masih dibawah garis kemiskinan sangat rentan terhadap praktek politik uang. Bahkan para kandidat yang bersaing memperoleh tingkat teratas di daerah telah menjadikan masyarakat ekonomi lemah sebagai target dari praktek ini. Seperti pemberian uang, sembako, dan kebutuhan praktis lainya yang memungkinkan dapat menarik dukungan suara dari masyarakat.

Kedua, rendahnya kesadaran politik masyarakat ; tingkat kesadaran politik masyarakat yang masih rendah memungkinkan adanya politik uang. Hal ini terjadi karena pendidikan politik bagi masyarakat masih minim, juga ditengarai minimnya sosialisasi dari partai politik, yang merupakan wadah bagi partisipasi masyarakat. Ketiga, ambisi tinggi politisi untuk memenangkan pilkada ; karena begitu “nafsu”nya para kandidat untuk memperoleh kekuasaan, maka mereka melupakan etika dalam politik, bahkan sengaja melanggar aturan pilkada demi kepentingan pragmatis.

Ketiga, Besarnya biaya pilkada, untuk mewujudkan impian menjadi kandidat kepala daerah, hingga resmi menjadi kandidat calon kepala daerah. Para kandidat dihadapkan pada biaya pilkada yang cukup banyak. Sebab setiap kandidat diharuskan membiayai segala bentuk kepentingan politik. Bahkan ada ungkapan bahwa kandidat yang memiliki dan mengeluarkan uang paling banyak maka dialah yang menjadi pemenang dalam pilkada.

Disini dapat kita lihat betapa besarnya peran kapital itu dalam pemenangan pilkada. Ada tiga faktor yang dibebankan pada kandidat calon yang berkompetisi dalam pesta demokrasi ini, diantaranya ; (1) setiap calon kepala daerah harus membayar partai politik yang akan dijadikan sebagai kendaraan politik. Sebab partai politik yang ingin mengusung mewajibkan menyetor dana sumbangan kepada partai. (2) biaya yang dibutuhkan para kandidat dalam kampanye sangat banyak. Misalnya untuk pembuatan poster, fanplet, kostum dan instrumen kampanye lainnya. (3) politik uang demi memperoleh dukungan masyarakat. Praktek politik uang seperti yang telah dibahas didepan merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan pilkada. Dan banyak dilakukan menjelang pemungutan suara, yang biasa disebut serangan fajar.

Tiga bentuk pengeluaran uang diatas, baru sebatas pada kandidat calon yang berkompetisi. Selain pengeluaran lagsung yang dibebani pada kandidat kepala daerah, namun negara juga turut merogok kocek uang negara demi suksesnya pemilihan langsung kepala daerah yang terselenggara ini. Tanggungjawab negara berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung, merupakan wujud nyata dari upaya penerapan demokrasi lokal. Namun perlu kita ketahui, bahwa pilkada langsung tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam kondisi seperti ini, demokrasi harus dibayar mahal bila ingin penyelenggarakan demokrasi prosedural. Keterlibatan negara dalam pilkada, diantaranya menteri dalam negeri Moh. Ma’ruf pada tahun 2005, mengajukan anggaran untuk biaya operasinal kepada menteri keuangan sebesar Rp. 1,225 triliun.

Selain menteri dalam negeri, kepala kepolisian republik indonesia (Kapolri), mengajukan uang operasi keamanan pilkada. Dan juga ditopang oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Kwik kian gie, seorang ekonom indonesia pernah berkata dalam tatap muka “satu jam bersama kwik kian gie”. Mengatakan ; “dalam melakukan demokrasi langsung harus berani mengeluarkan biaya demokrasi, sebab demokrasi itu mahal harganya”. Dari ungkapan seorang ekonom ini melegitimasi, bagaimana faktor ekonomi sangat mempengaruhi kondisi politik di tanah air.

Dari ketiga faktor permasalahan serius yang saya kemukakan diatas belum mampu mewakili berbagai bentuk permasalahan lainnya, namun secara garis besar, saya yakin apa yang dipaparkan diatas merupakan akumulasi dari berbagai masalah-masalah kecil lainnya yang menodai penyelenggaraan demokrasi lokal di indonesia.

Pemberedelan pers mahasiswa di STPMD yogyakarta

Tepatnya, jumat 09 oktober 2009 terjadi sebuah insiden memalukan dikalangan mahasiswa STPMD Yogyakarta. Kejadian itu berawal dari sikap arogansi panitia SIKam tahun 2009 yang melakukan aksi penarikan paksa koran mini dari mahasiswa baru. Bahkan melakukan perobekan serta penginjakan terhadap Koran kampus terbitan LPM Teropong. Adapun aksi perobekan tersebut, ditengarai adanya pemberitaan LPM Teropong edisi khusus SIKam (Teropong News edisi jumat 9 oktober 2009), yang dinilai tidak berimbang.

Sikap tidak terhormat yang ditunjukkan panitia SIKam, membangkitkan amarah segenap pengurus LPM Teropong. Merekapun mulai bereaksi dengan mengadakan penuntutan terhadap pelaku perobekan. Langkah pertama mengajukan surat ketidakpuasan terhadap panitia SIKam yang notabene adalah pengurus Dewan Mahasiswa (DEMA) STPMD. Namun surat tersebut ditanggapi negatif, alasannya masalah perobekan dilakukan karena ada penyebabnya.

Melihat kondisi yang kian tak menyenangkan, pengurus LPM Teropong melayangkan surat pengaduan terhadap Lembaga Kampus STPMD untuk ditindaklanjuti. Setelah menerima laporan dari LPM Teropong, sikap yang sama ditunjukkan Lembaga Kampus STPMD yang mengatakan “itu kan pasti ada yang melatarbelakangi, makanya kalau beritakan harus yang berimbang”, ujar PK II.

Kecamanpun ditujukan kepada LPM Teropong dan meminta klarifikasi atas pemberiataan yang dinilai pembohongan public. Tekanan semakin menyudutkan LPM Teropong. Lembaga Kampus, DEMA, Panitia SIKam dan mahasiswa baru, telah menilai LPM Teropong sebagai media pembohong.

Kondisi yang menyudutkan. Mengundang reaksi keras dari pengurus LPM Teropong. Tindakan itupun dikecam akan mengambil langkah hukum, dengan melibatkan seorang pengacara dari Jakarata. Sikap tegas yang diambil oleh LPM Teropong menimbulkan kekawatiran dari Lembaga Kampus STPMD Yogyakarta. Pembantu ketua tiga (PK III) sebagai bagian kemahasiswaan bersedia memfasilitasi masalah ini agar tak menyebar keluar kampus.

Adapun, pertemuan antara panitia SIKam, DEMA, Lembaga STPMD, dan LPM Teropong diadakan pada kamis 15 oktober 2009. Pertemuan yang digelar di ruang seminar STPMD itu menghadirkan perdebatan yang cukup sengit. Sehingga memakan waktu yang cukup lama, bahkan mengadakan lobby selama tiga kali.

Setelah tiga kali mengadakan lobby, pertemuan pendapatpun urung dihasilkan. Panitia SIKam tetap pada pendirian mereka, “kami merasa tidak bersalah, sebaliknya kalian yang minta maaf”, unghkap ketua panitia SIKam, Kristoporus Oki. LPM Teropongpun tidak mau menerima dengan tetap menuntut panitia SIKam.

Tak terasa, waktupun tak toleransi, saatnya sore tiba. Proses diskusi belum usai, maka inisiatif untuk menunda pada kesempatan berikutnyapun diungkapkan. Namun, ditengah memperbincangkan waktu pada hari berikutnya, Titus yang pada saat itu dalam posisi netral (karena merupakan anggota LPM Teropong yang didelegasikan sebagai TIM SC SIKam), meminta waktu untuk bicara dan kedua belah pihakpun mengijinkan.

Titus berbicara dalam posisi “Independen” (bukan netral). Ia menjelaskan ; Masalah pertama, dalam pers ada hak jawab, namun panitia SIKam tidak menggunakannya, yang kedua (setelah dijelaskan), ternyata yang dipahami tentang keberimbangan berita oleh panitia SIKam adalah “sebelahnya memberitakan yang negatif dan sebelahnya lagi yang positif”, itulah keberimbangan menurut mereka. Akhirnya, dari penjelasan ini, panitia SIKam menyadari kesalahannya dan meminta maaf secara terbuka kepada semua sivitas kampus, melaui lisan dan tulisan.

Titus Umbu Jr Mahasiswa ilmu pemerintahan STPMD"APMD" Yogyakarta